Mendesain Kecerdasan

Dengan nama Allah, Zat Mahacerdas, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk cerdas. Segala puji bagi-Nya yang telah menjadikan akal sebagai alat untuk memaksimalkan kecerdasan, hati untuk mencerahkan dan mensucikannya, rasa (dzawq) untuk memperindahnya, dan anggota tubuh untuk mengekspresikan dan membuatnya bermanfaat bagi sesame. Mahasuci Dia dengan segala keagungan-Nya.

“Setiap manusia dilahirkan di atas fitrah,” sabda Nabi Saw. Fitrah berarti kesucian, kebaikan, keindahan; suatu kondisi sebelum cemar oleh kotoran jenis apa pun. Fitrah mencakup semua makna positif termasuk kesempurnaan (ahsana taqwim) dan kecerdasan. Karenanya, sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan cerdas. Tetapi mengapa banyak orang yang kurang atau tidak cerdas? Jawabnya, “Abawayn, dua orang tua.”

Orang tua tidak selalu bermakna fisik-biologis. Dalam makna luas, ibu dan ayah berarti semua lingkungan yang berdimensi yin dan yang. Yin mencakup semua unsur kelembutan. Yang meliputi semua unsure kekuatan. Jika unsur yin-yang itu tidak berhasil dimaksimalkan untuk mendidik anak, maka ia akan tumbuh menjadi manusia yang kurang atau tidak cerdas.

Sebaliknya, jika unsur yin-yang itu berhasil dieksplorasi, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar cerdas, sesuai fitrahnya. Jadi, manusia yang tumbuh tidak cerdas, adalah karena fitrah kecerdasannya tidak tergali dan terekspresikan secara maksimal oleh lingkungannya. Termasuk lingkungan adalah ayah-ibu, saudara, keluarga, sekolah, masyarakat, system politik, pendidikan, ekonomi, budaya dan sebagainya.

Agar fitrah kecerdasan sesorang bisa tergali dan tereksploitasi sebagaimana seharusnya, maka lingkungan –terutama orang tua—mesti sejak awal mendesain dan mengarahkan potensi kecerdasannya, agar bisa tumbuh secara optimal. Di sinilah pentingnya belajar by design. Belajar apa pun. Bahasa adalah pintu sekaligus jembatan ilmu, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ia merupakan media terpenting dalam berkomunikasi.

Berdasarkan fitrah kecerdasan, maka belajar bahasa mesti dilakukan by design, terpola dan sistematis. Lebih dari itu, agar terukur, maka belajar bahasa mesti dilakukan by target. Apa target yang hendak dicapai dalam sehari, sepekan, sebulan, setahun, dan seterusnya. Dan target itu mesti dibingkai dalam sebuah desain-besar kecerdasan, yang mencakup sarana, fasilitas, alat-belajar, sistem, guru, supermetodologi, lingkungan dan lainnya.

Untuk menguasai bahasa Arab dan Inggris, mislanya, sudah saatnya kita mendesain cara belajar keduanya secara menyeluruh, dengan langkah, system dan metodologi yang sederhana. Sekalipun kedua bahasa itu luar biasa, tetapi keduanya mesti dipelajari secara mudah, bahkan sejak proses belajar baru saja dimulai. Dan proses itu harus sudah dimulai sejak dini, dalam sebuah lingkungan keluarga. Bagaimana melakukannya? Tentu, untuk itu kita membutuhkan desain supermetodologis.

Desain supermetodologis sesungguhnya digali dari konsep yang sederhana, mengacu pada fitrah kecerdasan yang telah bersemayam dalam setiap orang. Dalam berbahasa, manusia telah dibekali linguistic intelligence yang luar biasa. Jika ia tergali secara maksimal, maka seseorang akan melakukan lompatan prestasi yang luar biasa. Sayang, kebanyakan mereka belum familiar dengan kecerdasan linguistik.

Lalu, karena “Setiap orang dilahirkan cerdas, lingkunganlah yang membuatnya bodoh,” maka yang perlu serius kita lakukan adalah mendesain kecerdasan, termasuk mendesain kecerdasan linguistik…

Semoga kita bisa menemukan dan menerapkannya….!

Wallohu a'lam